Terpujilah wahai engkau Ibu Bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Guru. Sejak kapan kita berhubungan
dengan sosok yang kita panggil guru? Sejak masih Sekolah Dasar, Taman
Kanak-Kanak, atau bahkan saat masih di Play Group? Setiap orang berbeda-beda
waktunya kapan mereka mulai berhubungan dengan guru. Penulis pribadi mengenal
guru sejak masih di Play Group. Sudah sangat lama, hampir 14 tahun penulis
hidup dengan adanya guru dalam kehidupan penulis.
Tapi sebenarnya, siapa itu guru?
Apakah guru hanya sebuah profesi? Atau adakah makna yang lebih mendalam dari
rangkaian huruf G-U-R-U? Jika Anda ditanya siapa itu guru apa yang bakal Anda
jawab? “Guru seorang yang menngajar” atau “Guru mereka yang memberikan ilmu
pengetahuan.” Masing-masing kita punya pendapat yang berbeda tentang guru.
Jangan sampai kita yang selama ini berada di dekat guru bahkan tidak tahu apa
arti guru. Bagi penulis pribadi guru mereka yang mengajarkan apapun yang mereka
bisa kepada muridnya, mencerdaskan muridnya, induk dari semua dokter, professor
dan insinyur di muka bumi ini.
Satu hal yang menurut penulis paling
indektik dengan guru yaitu keikhlasan. Guru tidak kenal lelah mengajarkan
muridnya sampai benar-benar bisa. Mereka dikaruniai Allah kesabaran yang luar
biasa hebatnya. Tidak semua orang memiliki kesabaran seperti guru. Kalau penulis
ditawarkan menjadi guru mungkin penulis akan berpikir ribuan kali. Penulis
tidak dianugrahi kesabaran seperti mereka. Saat cuaca panas, sarana dan
prasarana sekolah tidak memadai, siswa yang tidak bisa diajak berkompromi, bisa
Anda bayangkan seberapa sabarnya seorang guru? Anugrah yang hanya diberikan
untuk mereka.
Namun apakah semua guru seperti dalam
mimpi atau khayalan penulis? Tidak. guru ada juga yang tidak sabar, ada yang
tidak bisa mengontrol emosinya dan banyak hal yang penulis rasa tidak sesuai
dengan hakikatnya sebagai guru. Penulis akan mempersempit pembicaraan tentang
guru ini dengan menceritakan guru di SMA (Sekolah Menengah Atas) tempat penulis
menimba ilmu. Ada guru yang marahnya berlebihan, bukannya guru harusnya pemaaf
agar bisa memberi contoh kepada muridnya agar bersifat pemaaf. Ada guru yang
suka merajuk, bukannya guru harus mengajarkan kalau ada masalah harus
dibicarakan. Ada guru yang sensitive, bukankah itu akan membuat jarak antara
guru dan siswa jauh. Bahkan ada juga guru yang selalu menakutkan ditanggal tua,
bukannya guru harus murah senyum dan bisa menyembunyikan segala persoalan
hidupnya.
Kalau kita pikir banyak sekali guru
yang tidak sesuai dengan apa yang kita mau. Kita ingin gurunya begini, tapi
gurunya malah begitu. Kita ingin gurunya seperti ini, tapi gurunya malah
seperti itu. Kita menuntut kesempurnaan akan guru. Padahal tidak ada manusia
yang sempurna di muka bumi ini, semua punya kekurangan, termasuk penulis juga punya
banyak kekurangan. Tapi kenapa kita selalu menuntut kesempurnaan kepada guru? “
Karena dia guru, jadi dia harus begini dong” kalimat basi yang sering
dilontarkan para siswa. Bagimana kalau guru yang mengatakan sebaliknya “Karena
kamu siswa, jadi kamu harus begini dong” bukankah kita jadi menghakimi siapa
yang benar dan siapa yang salah! Ingat guru itu cerminan dari keikhlasan. Penulis
bukan memihak baik siswa maupun guru. Yang penulis ingin jelaskan bahwa kita
sama-sama manusia, punya kekurangan. Guru juga manusia toh, mereka juga punya
kekurangan.
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terimakasihku tuk pengabdianmu
Bakti
guru itu sangatlah besar. Berbakti mencerdaskan bangsa, berperan besar dalam
mewujudan cita-cita bangsa. Dari tangan gurulah lahir para pembesar-pembesar
dunia ini. Ingat tsunami yang melanda Jepang? Pertanyaan pemerintahnya yang
pertama kali “berapa guru yang tersisa?” sungguh luar biasa bukan?
Di sekolah penulis, jujur terkadang
ada hari-hari penulis mereka sekolah ‘sia-sia’. Kenapa? Penulis ke sekolah
untuk menuntut ilmu, tetapi terkadang ada guru yang tidak masuk mengajar
padahal ada di sekolah. Kalau gurunya sakit tentu akan penulis maklumi. Tetapi
terkadang ada yang hanya duduk-duduk dan tidak masuk. Terkadang penulis juga
berpikir, di mana letak baktinya?
Pealajaran di sekolah juga tidak
semuanya menarik disampaikan oleh guru kepada siswanya. Kita tahu bahwa
pendidikan di Indonesia ini sangat kaku. Tiap siswa dituntut untuk bisa
menguasai semua mata pelajaran, sedangkan guru hanya menguasai satu bidangnya
saja. Penulis berharap banyak guru yang bisa inovatif agar memudahkan siswa
menyerap ilmu sehingga kata membosankan dari sekolah itu akan hilang. Sistem
belajar di sekolah kebanyakan hanya bersifat teori, sangat tidak diimbangi
dengan praktek. Padahal prakteklah yang membuat semuanya nyata dan akan membuat
pelajaran lebih menempel dari pada hanya duduk dibelakang meja menyalin buku
dengan rapi dan mendenarkan guru berbicara di depan kelas. Banyak guru yang
mengedepankan alasan sarana dan prasarana yang tidak memadai untuk melakukan
praktek, tap penulis rasa semua itu bisa diakali kalau memang gurunya ingin
menciptakan kondisi belajar yang menyenangkan dan menyegarkan bagi para
siswanya.
Banyak guru juga banyak sifat yang
berbeda. Ada guru yang penulis sangat salut. Menurut penulis beliau sangat
berdedikasi. Penulis tidak terlalu menyukai pelajarannya tapi penulis selalu
bersemangat mengikutinya karena penulis sangat salut kepada beliau. Beliau
selalu datang tepat waktu walaupun itu terkadang banyak membuat murid jengkel,
selalu meminta maaf jika terlambat atau tidak bisa masuk kelas. Pernah satu hal
yang membuat penulis makin terharu dengan beliau, waktu dia beliau bilang ada
acara keluarga, setelah acara selesai beliau langsung menuju sekolah dan masih
ada tersisa satu jam pelajaran beliau di kelas penulis. Beliau berlari ke
kelas, namun pada saati itu di kelas penulis sedang ada promosi bimbingan
belajar. Menurut penulis semangat guru seperti ini yang harus dicontoh. Salah
satu guru penulis yang lain ada yang sangat berkebalikan, kalau sudah tinggal
satu jam pelajaran bahkan ada yang tidak masuk dengan alasan hanya tinggal satu
jam, padahal 90 menit itu masih lama bagi siswa yang benar-benar ingin menimba
ilmu ke sekolah.
Salah satu sifat yang menurut penulis
harus dimiliki semua guru adalah periang. Bukankah dengan gembira maka
pelajaran akan mudah diserap? Apalagi untuk pelajaran MIPA, butuh suasara hati
yang benar-benar bagus agar bisa mengerti pelajarannya. Salah satu guru
matematika yang penulis sangat suka dan beliau sangat periang. Rasanya
pelajaran tidaklah beban bagi kami yang mengikuti kelasnya. Apa yang beliau
sampaikan rasanya selalu masuk ke otak. Andaikan semua guru bisa periang
mungkin semua pelajaran akan tampak menyenangkan.
Seperti penulis katakana diawal,
tidak semua guru sesuai dengan keinginan kita. Kita inginnya begini, gurunya
malah begitu. Sangat bertentangan dengan apa yang kita inginkan. Di sekolah penulis,
penulis juga menjumpai guru yang pelit nilai. Ini penulis alami sendiri. Penulis
tidak tahu apa yang salah selama penulis mengikuti pelajarannya. Penulis selalu
aktif dan penulis rasa penulis mampu. Tapi nilai yang diberikannya menurut penulis
dan teman-teman penulis tidaklah sesuai. Terlalu pelit. Entah apa penilaiannya
dalam memberikan nilai, penulis tidak pernah berniat menanyakannya. Ada juga
guru yang memberikan nilai pukul rata. Dari yang memang bisa dengan materinya
sampai yang pura-pura bisa mendapat nilai sama. Katanya guru bisa tahu yang
mana benar bisa dan yang mana hanya pura-pura bisa, tapi pada kenyataannya yang
penulis rasakan sangatlah berebeda.
Problematika yang klimaks lagi adalah
ada guru yang pintar tetapi tidak tahu cara membagi kepintarannya. Banyak kasus
ini yang terjadi di sekolah penulis. Kita semua tahu bahwa guru itu pintar,
bahkan bisa dikatakan diatas dari guru lain dibidangnya. Tapi kita sangat susah
menangkap pelajaran yang disampaikan oleh guru tersebut, mungkin metode
pembelajannya yang salah sehingga walalupun gurunya pintar tapi tetap saja
tidak berimbas kepada muridnya.
Ini biasa terjadi pada guru wanita.
Mereka bisa membicarakan aib orang lain di kelas. Padahal seharusnya kita tidak
tahu jadi menjadi tahu tapi ini sisi yang negatif. Penulis tidak begitu suka
dengan guru yang memiliki sifat seperti ini, padahal ini kenyataan yang paling
banyak penulis temui. Sampai saat ini penulis hanya berpikiran positif, mungkin
sang guru ingin muridnya yang lain tidak mengulangi kesalahan yang dilakukan
murid yang salah. Tapi membeberkan aib ke semua penjuru sekolah bukankah
perilaku yang tidak baik? Penulis berharap nanti mereka akan menemukan metode
yang tepat untuk memberikan muridnya pembelajaran.
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Penulis merasakan perubahan yang
sangat signifikan dari sebelum ketemu guru dan sesudah ketemu guru. Memang benar
dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak mengerti menjadi mengerti
dan dari yang tidak pandai menjadi pandai, semuanya karena guru. Guru yang
mengajari kita sampai pandai. Guru sebagai orangtua kedua yang membawa kita
keluar dari gelapnya ketidaktahuan. Bagi mereka yang selalu ingin tahu, gurulah
tempat memuaskan segala hasratnya itu. Dari hal yang kecil hingga yang besar
sekalipun akan kita tanyakan pada guru dan guru akan membagikan ilmu yang
mereka punya untuk kita.
Di negara yang sangat kita cintai ini
ada peringatan hari guru nasioanal. Betapa bangsa sangat menghargai jasa-jasa
seorang guru. Penulis sangat salut terhadap guru yang ikhlas mencerdaskan
anak-anak pedalaman dan sangat kekurangan. Cita-cita mulia yang ia miliki untuk
mencerdaskan mereka dan mendapat hidup yang lebih beruntung. Apalagi sekarang
dikabarkan hidup guru sudah semakin sejahtera. Penulis sangat berharap
pengabdiannya untuk bangsa sebanding dengan apa yang diterimanya. Penulis
berharap guru tidak mementingkan komersial dalam mengajar sehingga tidak ada
kata ilmu itu mahal lagi di bumi ini.
Guru engkau manusia biasa yang punya
segudang cita-cita untuk mewujudkan masa depan kami. Terima kasih guru.
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jahasa
0 komentar: